Aturan pejabat (Pj) yang akan dipakai Kemendagri untuk mengisi kekosongan kepala daerah digugat. Diketahui, akan ada 101 kepala daerah akan mengakhiri masa jabatannya pada 2022.
Padahal pemilihan kepala daerah (pilkada) yang baru akan serentak digelar pada 2024. Nah, Kemendagri akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengisi kekosongan jabatan.
Dalam aturan itu, Kemendagri akan mengangkat pejabat atau Pj sampai dengan terpilihnya gubernur, bupati dan wali kota pada tahun 2024. Aturan yang dipakai Kemendagri itu ternyata melanggar hak konstitusional.
Atas dasar itu, Sulistyowati yang menjadi kuasa hukum para Pemohon yang terdiri dari Dewi Nadya Maharani, Suzie Alancy Firman, Moch Sidik, Rahmatulloh, dan Mohammad Syaiful Jihad akan mengajukan permohonan pengujian Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ini merampas hak konstitusional para pemohon. Karena dengan adanya pasal-pasal tersebut para pemohon tidak bisa memilih pemimpin kepala daerah secara langsung. Sehingga para pemohon mengajukan pengujian UU Nomor 10 Tahun 2016,” kata Sulistyowati dalam siaran pers, Rabu (26/1).
Dia melanjutkan, orang droping pusat atau Pj pengetahuan daerah terbatas dan rentan dengan konflik daerah.
“Karena para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya bisa kapan saja hilang ketika Presiden dan DPR RI bersatu membuat undang-undang seperti yang dikehendaki,” tegas Sulistyowati.
Pemohon meminta kepada pemerintah agar tidak ada Pj yang ditunjuk. Agar lebih efektif sebaiknya kepala daerah lama bisa melanjutkan kepemimpinannya.
“Agar roda pemerintahan jalan. Perpanjang aja jabatan kepala daerah apalagi ini kan lagi Corona,” terang Saiful Jihad, salah satu pemohon.
Gugatan uji materi ke MK:
– Menyatakan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat;
– Menyatakan ketentuan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai yang menjadi kepala daerah adalah yang melalui proses pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung secara demokratis.
– Menyatakan ketentuan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai penjabat kepala daerah adalah kepala daerah yang sudah dipilih rakyat sebelumnya untuk melanjutkan pemerintahan guna menyiapkan pemilihan kepala daerah 2024. (radarnonstop.co)